gambar

Blog Archives

Twitter Sufisme News

Selasa, 17 April 2012

9. AHWAL MENENTUKAN AMAL


MACAMNYA JENIS AMAL ADALAH KARENA BERBAGAI  MACAMNYA  AHWAL 

Hikmah no. 9 ini ringkas tetapi padat. Hikmah ini merupakan lanjutan kepada Hikmah no.8 (JALAN MENUJU MA'RIFAT) yang diuraikan sebelum ini. Hikmat yang ke delapan menjelaskan tentang perhentian di hadapan pintu gerbang dan belum menyentuh makrifat. Hikmat ke sembilan ini memberi gambaran tentang makrifat tetapi tidak dikatakan makrifat dan tidak diuraikan secara terus terang sebaliknya dikatakan sebagai ahwal. Ahwal adalah jama’ dari kata hal. Hikmah ini membawa arti hal membentuk keadaan amal. Amal adalah perbuatan atau kelakuan lahiriah dan hal adalah suasana atau kelakuan hati. Amal berkaitan dengan lahiriah manakala hal berkaitan dengan batiniah. Oleh karena hati menguasai semua anggota, maka kelakuan hati yaitu hal menentukan bentuk amal yaitu perbuatan lahiriah.

Dalam pandangan tasawuf, hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan dzauq atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Allah s.w.t). Oleh itu, tanpa hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh makrifat. Ahli ilmu mengajarkan makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasawuf  bermakrifat melalui pengalaman tentang hakikat.

Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf yaitu terbuka keghaiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk ghaib seperti  jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai-bagai bentuk dan suasana dunia ini. 

Kasyaf yang menerima hakikat sesuatu, walau apa jua rupa yang dihadapi, penting bagi pengembara kerohanian. 

Rasulullah s.a.w sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibrail a.s dalam rupanya yang asli dua kali saja, walaupun pada setiap kali Jibrail a.s menemui Rasulullah s.a.w dengan rupa yang berbeda-beda, Rasulullah s.a.w tetap mengenalinya sebagai Jibrail a.s. Kasyaf yang seperti inilah yang diperlukan agar seseorang itu tidak tertipu dengan tipu daya syaitan yang menjelma dalam berbagai rupa yang hebat dan menawan sekalipun, seperti rupa seorang yang kelihatan alim dan warak.

Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf, maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan hal atau dzauq, yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai pada pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ, seseorang hanya menanti karunia Allah s.w.t, hanya karunia Allah s.w.t yang membawa makrifat kepada hamba-hamba-Nya. Karunia Allah s.w.t yang menjadikan makrifat itu dinamakan hal. Allah s.w.t memancarkan Nur-Nya ke dalam hati hamba-Nya dan akibat dari pancaran itu hati akan mendapat sesuatu pengalaman atau terbentuk satu suasana di dalam hati. Misalnya, pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal bahwa Allah Maha Perkasa. Apa yang terbentuk di dalam hati itu tidak dapat digambarkan tetapi kesannya dapat dilihat pada tubuhnya yang menggigil hingga dia jatuh pengsan. Pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal atau dzauq atau merasai keperkasaan Allah s.w.t dan pengalaman ini dinamakan hakikat, yaitu hati mengalami hakikat keperkasaan Allah s.w.t. Pengalaman hati tersebut membuatnya berpengetahuan tentang maksud Allah Maha Perkasa. Jadi, pengalaman yang diperoleh dari dzauq hakikat melahirkan pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan itu dinamakan makrifat. Orang yang dapat dikatakan bermakrifat terhadap keperkasaan Allah s.w.t.

Oleh sebab itu untuk mencapai makrifat seseorang itu haruslah mengalami hakikat. Inilah jenis makrifat yang tertinggi. Makrifat tanpa pengalaman hati adalah makrifat secara ilmu. Makrifat secara ilmu boleh didapati dengan belajar, sementara secara dzauq didapati tanpa belajar. Ahli tasawuf tidak berhenti pada makrifat secara ilmu saja, malah mereka mempersiapkan hati mereka agar siap menerima kedatangan makrifat secara dzauq.

 Ada orang yang memperoleh hal sekali saja dan dikuasai oleh hal dalam masa yang tertentu saja dan ada juga yang  berkelanjutan dalam waktu yang panjang dalam hal. Hal yang berterusan atau berkelanjutan dinamakan wishal iaitu penyerapan hal secara berterusan, kekal atau baqa. Orang yang mencapai wishal akan terus hidup dengan cara hal yang berkenaan. Hal-hal (ahwal) dan wishal bisa dibagi menjadi lima jenis:

1 : Abid: 

 Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau dzauk yang membuat dia merasakan secara bersangatan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, keupayaan, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah  daya dan upaya yang dari Allah s.w.t. Semuanya itu adalah karunia-Nya semata. Allah s.w.t sebagai Pemilik yang sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah s.w.t hingga sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, tidak bermaya, tidak boleh bergerak, kerana dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah s.w.t. Hal atau suasana  yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat beribadat, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak mengambil bagian dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah s.w.t dan gemar bersendirian. Dia merasakan apa saja yang selain Allah s.w.t akan menjauhkan dirinya daripada Allah s.w.t.

2 : Asyiqin:

Asyikin ialah orang yang mendapat asyiq dengan sifat Keindahan Allah s.w.t. Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah s.w.t di dalamnya. Amal atau kelakuan asyiqin ialah gemar tafakur alam maya dan memuji Keindahan Allah s.w.t pada apa yang disaksikannya. Dia boleh duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan titikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah s.w.t. Orang yang menjadi asyiqin tidak memperdulikan lagi adab dan peraturan masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam ini. Dia mempunyai alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah s.w.t.

3 : Muttakhaliq:

Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana  Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah s.w.t menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang mau terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu  perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya.

Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahwa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah s.w.t, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, yang berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faraidh ialah bercampur-campur di antara logis dengan tidak logis, mengikut adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam banyak perkara penjelasan yang boleh diberikannya ialah, “Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki”.
Dalam suasana Qurbi Nawafil pula muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah s.w.t yang menguasai bakat dan keupayaan pada sekalian anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah s.w.t kerana Allah s.w.t mengaruniakan kepadanya kelebihan untuk berbuat sesuatu. 

Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah s.w.t, juga kelakuan beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah s.w.t yang diizinkan menjadi bakat dan keupayaan beliau a.s, sebab itu beliau a.s tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah s.w.t.

4 : Muwahhid:

Muwahhid fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah s.w.t. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan segala yang maujud. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Abdullah, dan jika ditanya kepadanya di manakah Abdullah, maka dia akan menjawab Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke‘Abdullah-an’ dan benar-benar dikuasai oleh ke‘Allah-an’.
Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas daripada beban hukum syara’. Dia mengaku, “Akulah Allah! Maha Suci Aku! Sembahlah Aku!” Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh kewujudan ‘Aku Hakiki’. 

Walau bagaimana pun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam keridhaan Allah s.w.t. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahwa hal tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak berupaya menahannya. Ahli hal tenggelam dalam perlakuan Allah s.w.t. Bila dia mengucap , “Akulah Allah!” bukan bermakna dia mengaku telah menjadi Tuhan, tetapi dirinya telah fana, apa yang terucap melalui lidahnya sebenarnya adalah dari Allah s.w.t. Allah s.w.t yang mengatakan Dia adalah Tuhan dengan menggunakan lidah muwahhid yang sedang fana itu.

Berbeda pula golongan mulhid. Si mulhid tidak dikuasai oleh hal, tidak ada dzauq, tetapi berkelakuan dan bercakap seperti orang yang di dalam dzauq. Orang ini dikuasai oleh ilmu tentang hakikat bukan mengalami hakikat secara dzauq. Si mulhid membuang syariat serta beriman berdasarkan ilmu semata-mata. Dia berpuas hati bercakap tentang iman dan tauhid tanpa beramal menurut tuntutan syariat. Orang ini bercakap sebagai Tuhan sedangkan dia di dalam kesadaran kemanusiaan, masih dikuasai dengan keinginan hawa nafsu. Orang-orang sufi bersepakat mengatakan bahwa siapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang seperti itu adalah sesat dan kufur!

5 :  Mutahaqqiq: 

Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali kepada kesadaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurusnya. 

Dalam kesadaran zat seseorang tidak keluar  dari khalwatnya dengan Allah s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesadaran sifat barulah dia boleh memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Allah s.w.t menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah s.w.t dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah s.w.t. 

Orang inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli tarekat   yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani. Insan Rabbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Allah s.w.t karuniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.

Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeza-beza, dengan itu akan mencetuskan kelakuan amal yang berbeza-beza. Ahwal mesti difahami dengan sebenar-benarnya oleh orang yang memasuki latihan tarekat kerohanian, supaya dia mengetahui, dalam amal yang bagaimanakah dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan sembahyang, zikir atau puasa. Dia mesti berpegang sungguh-sungguh kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia cepat dan selamat sampai ke puncak.

Wallohu A'lam Bisshowab


Silahkan Baca Juga Artikel yang Terkait:

Comments :

0 komentar to “9. AHWAL MENENTUKAN AMAL”

Posting Komentar

LANGGANAN ARTIKEL

sufisme

Masukkan Email Anda dan Anda akan mendapatkan artikel terbaru dari sufisme news langsung di email Anda

 

Baner Links